Indonesia memang negeri dengan seribu bencana. Tahun 2017 lalu, BNPB mencatat setidaknya ada 2.862 bencana yang telah terjadi di Indonesia.
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, mengingat kondisi geografis Indonesia memang berpengaruh besar atas bencana yang terjadi. Terletak di pertemuan lempeng-lempeng Bumi dan dilewati oleh barisan gunung api aktif atau yang biasa dikenal dengan ring of fire.
Lalu iklim tropis dengan dua musim saling berganti, membuat perubahan cuaca, suhu dan angin di Indoneisa menjadi wajar untuk terjadi. Banjir dan tanah longsor pun dapat dilihat sebagai dampak dari gabungan dari soal iklim dengan kondisi topografi Indonesia yang cukup beragam.
Melihat kondisi ini, kita harus berkaca dan perlu memiliki kesadaran terhadap potensi bencana yang ada.
Tidak semua bahaya bisa jadi bencana
Sebenarnya, bencana adalah kombinasi dari bahaya dari alam dan ketidaksiapan dalam menghadapi bencana tersebut. Hubungan keduanya dapat disederhanakan dalam bentuk notasi kali sebagai berikut:
Bencana = Bahaya x Ketidaksiapan
Artinya… jika bahaya dari alam datang tapi kita telah siap menghadapinya, maka bahaya itu tidak lagi jadi bencana bagi kita.
Di sinilah poin penting yang perlu kita perhatikan, yaitu berkaitan dengan kesiapsiagaan.
Mari kita belajar dari negara dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana terbaik di dunia, yaitu Jepang.
Jepang adalah negara yang rawan gempa. Setiap tahun Jepang dilanda lebih dari 1.500 gempa bumi, dan beberapa di antaranya berpotensi tsunami.
Mereka menyadari itu, dan alih-alih mengutuk diri dan menyalahkan alam, mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya itu.
Gempa bumi terburuk yang dialami Jepang pada abad ke-20 terjadi pada tanggal 17 Januari 1995. Gempa berkekuatan 6,9 skala richter mengguncang kota Kobe dan memakan sebanyak 6.434 korban jiwa.
Sadar dengan kerusakan besar akibat bencana tersebut, Jepang berbenah. Generasi setelah gempa Kobe 1995 dilatih untuk menghadapi bencana gempa bumi.
Maka, ketika alarm peringatan gempa berbunyi, orang-orang sudah paham apa yang harus mereka lakukan: mencari tempat berlindung di kolong meja untuk melindungi diri dari reruntuhan material bangunan.
Para peneliti di Jepang pun dikerahkan untuk mempelajari pola kejadian gempa, untuk mengetahui mekanismenya agar upaya penanganan dapat dilakukan dengan lebih tepat.
Hasilnya?
Untuk sebuah kondisi gempa yang serupa, bisa dipastikan jumlah korban di Jepang jauh lebih sedikit daripada jumlah korban di Indonesia.
Dan itu dicapai dengan budaya sadar bencana, dengan usaha kesiapan menghadapi bencana.
Siklus penanggulangan bencana
Kita memang tidak bisa mengendalikan bahaya dari alam. Namun kita bisa mempersiapkan diri dan mengurangi resiko dari bencana yang dihasilkan.
Untuk mengurangi resiko dari bencana yang terjadi, dibutuhkan serangkaian proses berkelanjutan yang harus dilakukan terus menerus.
Proses ini meliputi tiga komponen penting sesuai dengan masa penanganan bencana, yaitu: pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana.
Pra-bencana
Persiapan dalam tahap pra-bencana dilakukan dengan pencegahan dan mitigasi.
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman bahaya. Misalnya yaitu pembuatan bendungan, biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit, dan lain-lain dengan tujuan untuk menghindari banjir.
Adapun mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Misalnya yaitu dengan menata kembali lahan desa agar jika terjadi banjir, kerugian yang dihasilkan tidak terlalu besar.
Saat bencana
Adapun saat bencana, yang diperlukan ada dua hal: tanggap darurat dan kesiapsiagaan.
Baik pihak sipil maupun pemerintah harus bahu-membahu dalam hal ini. Warga sipil melakukan tindakan tanggap darurat dengan melindungi diri dan menjauh dari sumber bencana. Begitu pula pemerintah, yang membantu dan memfasilitasi warga sipil dalam kegiatan tersebut.
Pasca-bencana
Setelah terjadi bencana, yang perlu dilakukan dalam penanggulanan bencana adalah rehabilitasi dan rekonstruksi. Secara umum, keduanya mewakili perbaikan dalam jangka pendek dan perbaikan jangka panjang.
Perbaikan jangka pendek adalah perbaikan dengan tujuan perbaikan infrastruktur yang digunakan sementara oleh para korban.
Adapun perbaikan jangka panjang melibatkan lebih banyak hal dan perlu banyak pertimbangan, berupa pembangunan infrastruktur yang lebih baik agar ke depannya kerugian yang dihasilkan oleh bencana dapat diminalisir.
Demikianlah langkah yang harus dilakukan dengan sinergi antara warga sipil dan pemerintah dalam menanggulangi ribuan bencana yang terjadi di Indoneisia.
Semoga ke depannya Indonesia semakin mampu dan siap untuk selamat dalam menghadapi bencana.