Mengapa sampai saat ini kita belum bisa memprediksi gempa bumi?

Ringkasan

  • Sampai saat ini kita belum bisa memprediksi gempa
  • Prediksi gempa harus memenuhi tiga kriteria: lokasi tepatnya, waktu tepatnya, dan seberapa kuat kekuatannya. Sayangnya prediksi gempa yang memenuhi tiga kriteria ini sangat sulit dipenuhi.
  • Kejadian gempa itu kompleks dan membingungkan, pemicunya mulai dari aktivitas inti, mantel, kerak Bumi, aktivitas tektonik, benda angkasa, dan juga rotasi Bumi.

Follow instagram @saintifcom


Serentetan gempa bumi di Indonesia akhir-akhir ini menambah was-was masyarakat di Indonesia.

Bersebaran juga pesan broadcast yang meresahkan, karena berisi ramalan gempa bumi di beberapa daerah dalam waktu dekat.

Begitupun BMKG yang menjadi sasaran emosi warga net, karena dituduh tidak pecus melaporkan dan memprediksi kejadian gempa bumi.

Padahal memang saat ini belum ada satupun metode prediksi gempa bumi yang valid dan diterapkan.

Prediksi gempa tidak pernah dilakukan hanya berdasarkan pada teori, karena teori prediksi gempa belum pernah tersedia sampai hari ini, atau ia sedang dibangun oleh banyak ahli di dunia.

Setidaknya terdeteksi 200.000 gempa bumi di seluruh dunia setiap tahun.

berdasarkan data dari USGS 2010

Kebanyakan gempa bumi terjadi dengan kekuatan kecil yang tidak cukup beresiko untuk membahayakan banyak orang.

Namun beberapa dapat memberi bahaya menghancurkan, dengan kekuatan yang besar, yang berdampak pada runtuhnya bangunan, tsunami, dan tanah longsor.

 

Prediksi gempa harus memenuhi tiga hal supaya benar-benar berguna

 

1. Dimana tempatnya. Mencakup area yang cukup sempit

Ilmuwan sudah tahu dimana saja lokasi-lokasi yang paling mungkin terjadi gempa bumi.

Yang ditandai dengan rekaman aktivitas seismik atau gempa yang sering.

Diantaranya di daerah-daerah patahan dan perbatasan lempeng tektonik Bumi. Seperti daerah selatan kepulauan Indonesia dan daerah lain dalam ring of fire.

Prediksi gempa kurang berguna kalau rentang tempat perkiraannya terlalu luas.

Misalnya kalau prediksinya bakal ada gempa di pulau Jawa. Masa iya, seluruh penduduk pulau Jawa harus dievakuasi?

 

2. Seberapa besar kekuatannya. Dalam skala gempa tertentu

Jutaan gempa bumi tak berbahaya terjadi setiap tahun, bahkan jika kita dapat memprediksi kapan terjadi gempa bumi, akan tidak berguna prediksi itu jika tidak diketahui berapa besar kekuatan gempanya.

Tanpa disertai kekuatan gempa, maka prediksinya malah bikin kacau. 

Tentu upaya mitigasi berbeda saat ada gempa magnitudo 7.0 yang memerlukan evakuasi banyak orang, dengan gempa magnitudo 5.0 yang hanya menimbulkan kerusakan kecil.

 

3. Kapan terjadinya. Dalam rentang waktu yang memadai

Supaya prediksi dapat berguna, maka ia haruslah sangat akurat.

Tapi mencoba untuk tahu kapan persisnya saat lempeng tektonik ini akan melepaskan energi besar yang mengakibatkan gempa bumi, sangatlah susah dipahami.

Namun prediksi waktunya hanyalah pendekatan, artinya gempa bumi dapat berlangsung kapan saja dalam rentang waktu yang lumayan besar.

Ketiga aspek ini harus secara spesifik terpenuhi.

Sehingga kalau ada yang mengatakan dalam bulan depan akan ada gempa di Sumatera dengan kekuatan diatas 4 …. itu sih anak kecil juga bisa

 

Kejadian Gempa Bumi itu kompleks dan membingungkan

Dengan menengok informasi dari lebih dari 100 gempa Bumi besar (magnitudonya lebih dari 7) di seluruh dunia, para ilmuwan mendapati ada pola yang sama.

Apabila kejadian gempa diplot dalam skala waktu digambarkan secara sederhana seperti grafik diatas.

Gempa dimulai, magnitudonya naik secara linier, memuncak, dan akhirnya menurun, membentuk pola segitiga.

Gempa yang sederhana akan mengalami perulangan dalam selang waktu yang tetap.

Gempa sederhana itu perulangan penumpukan regangan (stress), yang apabila penahannya tidak mampu lagi menerima stress, maka akan terjadi pelepasan regangan dalam bentuk gempa.

Segera setelah gempa, regangannya turun. Namun karena gerakan lempeng tektonik masih terus berjalan, maka gempa akan terus-menerus terjadi secara berulang.

Kalau semuanya sederhana saja, maka kekuatannya juga tetap, pemicunya hanyalah akibat kekuatan penahannya yang selalu saja sama.

Prediksinya tentunya mudah, kita hanya memerlukan pengukuran secara berulang-ulang secara kronologis saja.

Namun realitanya, gempa bumi yang terjadi di alam tidak sesederhana seperti itu.

Kamu akan merasakan permukaan Bumi berguncang makin besar dan makin besar dan kamu tidak tahu kapan ia akan berhenti, sampai guncangan mulai menurun.

Dengan pola itu, tak heran kalau kita tak bisa menduga terjadinya gempa.

Sebab segala teknik observasi dan tenaga komputasi yang dibutuhkan untuk menarik data mengenai gempa, hanya akan bekerja pada jangka waktu singkat, ya pada saat terjadinya gempa itu.

Banyak hambatan lain, seperti keberadaan gunung api aktif. Juga batuan penahan yang kekuatannya tidaklah tetap.

Sedangkan secara global terjadi interaksi yang terus berkembang dan berubah-ubah.

Bayangkan saja kalau rumus yang sudah diketemukan harus diubah karena misalnya seperti yang kita tahu saat ini sedang terjadi pemanasan global.

 

Bermacam-macam Pemicu Gempa

Aktifitas inti Bumi, aktifitas mantel serta aktifitas kerak bumi. Semua aktifitas dari dalam ini yang paling sering menjadi pemicu dari gempa.

Disamping itu gunung api yang sering juga muncul sebagai akibat dari aktifitas tektonik yang juga merupakan penyebab langsung dari gempa. Keduanya (gempa-gunungapi) dapat saling mempengaruhi.

Selain itu pengalaman beberapa gempa besar terakhir ini sangat erat hubungannya dengan gerakan-gerakan benda-benda angkasa terutama bulan. Seperti gempa bumi Lombok kemarin pada 29 Juli yang terjadi sesaat setelah bulan purnama.

Dan yang terbaru, kejadian gempa bumi berkolerasi dengan perlambatan rotasi Bumi.

Sehingga kita tahu bahwa gempa bukanlah kejadian tunggal, pemicu gempa bukan disebabkan satu jenis mekanisme saja.

Betapa rumitnya mengetahui atau membuat model untuk meramal gempa. Sehingga perlu berbagai cara pendekatannya.

 

Usaha Memprediksi Gempa

Ilmuwan sudah mencoba beberapa tanda-tanda gempa bumi, seperti adanya emisi gas radon, perubahan medan elektromagnetik, bahkan perilaku binatang untuk membangun sebuah model prediksi.

1. Pengukuran langsung

Yaitu dengan mengukur ada tidaknya stress didalam batuan atau lempeng segmen gempa itu.

Masalahnya, sangat sulit mengobservasi gempa Bumi secara langsung.

Selain bahwa sumber gempa sendiri takkan mungkin diakses oleh para ilmuwan. Sebagai contoh, gempa Bumi yang baru saja terjadi di Lombok. 

Gempa itu tak hanya terjadi 33 kilometer dari ibu kota tapi juga berada 31 kilometer di bawah permukaan tanah.

Tak ada kamera atau instrumen apapun bisa menunjukkan apa yang sedang terjadi saat lapisan kulit Bumi retak dan melepaskan energi yang besar. 

Yang bisa dilakukan hanya dengan analisis rekaman seismik dari beberapa stasiun di sekitarnya.

Memahami pola seismisitas gempa-gempa yang sudah terjadi di lokasi yang karakteristiknya mirip dapat membantu setidaknya prediksi jangka pendek.

Seperti saat kejadian gempa bumi Lombok pada 29 Juli, yang diketahui rupanya foreshock atau gempa pendahuluan dari gempa utama.

Gempa utamanya sendiri terjadi seminggu setelahnya.

 

2. Pengukuran tidak langsung

Pengukuran tidak langsung adalah mengukur semua gejala yang muncul akibat adanya tekanan atau stress pada batuan.

 

3. Gas Radon

Pada tahun 1980-an emisi gas radon merupakan sebuah impian untuk mewujudkan prediksi gempa.

Radon merupakan unsur radioaktif, dipercaya akan keluar ketika batuan akan melepaskan stressnya.

Gas radon akan muncul pada air tanah ketika terjadi gempa. Namun hasil pengamatan ini seringkali hanya berlaku lokal, sehingga sulit diterapkan ditempat lain.

 

4. Medan EM (Electromagnetic)

Di Indonesia metode ini juga diteliti oleh ahli-ahli di LIPI. Pak Dr Djedi dari LIPI pernah mengatakan ada beberapa mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan fenomena medan EM yang berhubungan dengan gempa.

Deteksi Electromagnetic (www.spectrum.ieee.org)

Batuan yang menunjam masuk ke dalam mantel. Mantel bumi ini diperkirakan memiliki fase cair.

Batuan yang menekan dan tertekan ini akan menimbulkan gejala piezoelectric dengan memancarkan ion-ion yang mempengaruhi sifat elektrik materi disekitarnya dan mempengaruhi sifat-sifat medan EM di atmosfer dan ionosfer.

Alat perekam medan EM yang sudah banyak dipasang di daerah-daerah yg diperkirakan menjadi sumber gempa, bahkan sudah ada satelit yang di luncurkan ke luar angkasa untuk mengamati gejala-gejala perubahan EM yg berhubungan dengan gempa.

Salah satunya DEMETER (Detection of Electro-Magnetic Emissions Transmitted from Earthquake Regions), sebuah satelit milik perancis yang diluncurkan ke orbit pada tahun 2004.

Pada saat DEMETER melintasi selat Makassar ada tanggal 21 Januari 2005, tercatat adanya anomali pengukuran gelombang EM.

Dan dua hari setelahnya terjadi gempa di sesar Palu-Koro di Sulawesi pada tanggal 23 Januari 2005.

Tentunya hal ini merupakan pertanda baik akan kemungkinan pengukuran gelombang EM sebagai petunjuk dari gempa.

Sayangnya, Misi Demeter telah dihentikan sejak 9 Desember 2010.

 

5. Pola Statistik

Jalan lain memprediksi gempa bumi yaitu dengan menganalisis statistik frekuensi gempa bumi di daerah tertentu.

Dengan merunut pola atau tren masa lalu, dapat diperkirakan kira-kira berapa tahun sekali ada gempa.

Diperkirakan setidaknya 32 tahun sekali, gempa bumi besar meningkat frekuensi kejadiannya.

Seperti yang baru diteliti baru-baru ini, dengan memperhatikan korelasi frekuensi kejadian gempa besar antara perubahan kecepatan rotasi Bumi.

 

Mengapa masih belum berhasil?

Ada gejala Electromagnetis, tapi daerahnya terlalu luas.

Selain EM itu disebabkan oleh adanya aktifitas gempa, gelombang EM juga dipengaruhi oleh aktivitas Matahari, kegiatan manusia seperti roket, jaringan listrik, pemancar radio dan televisi, gas rumah kaca.

Tren statistik memang membantu, tapi bisa saja faktor penyebab gempa bumi berubah seiring waktu, sehingga tidak lagi mengikuti tren masa lalu.

Awan gempa ? …. hmmm tidak selalu muncul, dan malah banyak yang salah identifikasi jenis awan.

Ternyata kita tahu bahwa prediksi itu ada batasannya, keakurasiannya tergantung dari rentang waktu, tempat, dan parameter lain yang dibuat.

Jadi kita sekarang mengetahui bahwa terjadinya gempa itu tidak sederhana. Sangat kompleks bahkan sangat membingungkan, ini berdasarkan pengetahuan manusia hingga kini.

Perlu diketahui, pengetahuan kita tentang ilmu lempeng tektonik itu juga baru diketahui 60 tahun yang lalu.

Sebelumnya, ya tentu saja ilmuwan ahli kebumian pun bingung dengan kejadian gempa.

Apakah sebaiknya kita menyerah membuat prediksi, dan fokus untuk mengurangi dampak kerusakan gempa bumi saja?

 


Referensi

  • http://geologi.co.id/2007/09/26/meramal-gempa-1/
  • https://www.popsci.com/earthquake-harder-to-predict-than-we-thought
  • https://earthquake.usgs.gov/earthquakes/browse/stats.php
  • http://www.ercll.gifu-u.ac.jp/
  • http://smsc.cnes.fr/DEMETER/index.htm
  • Parrot et al, (2006), “Examples of unusual ionospheric observations made by the DEMETER satellite over seismic region”, Physics and Chemistry of the Earth
  • http://www.ieee.org
  • http://science.sciencemag.org/content/357/6357/1277

Artikel Terkait