Makan bakso maunya yang gurih; makan nasi goreng juga, apalagi cilor. Daripada menggunakan campuran gula, garam, dan bumbu lainnya yang dapat memberikan rasa gurih, lebih baik menggunakan *jino*oto saja yang praktis, simpel, dan murah.
Siapa sih yang tidak mengenal micin? Sejak jaman nenek buyut hingga jaman now, micin tetap menjadi favorit di antara penyedap rasa makanan. Dari anak-anak yang senang jajan cilor hingga para orang tua penggemar masakan rumah, pecinta micin memang tidak mengenal usia.
Orang mengenal micin karena kemampuannya untuk membuat rasa makanan menjadi lebih sedap. Juaranya penyedap rasa yang satu ini ternyata memang sudah dikenal sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.
Sang penemu
Ialah Profesor Ikeda, guru besar Universitas Imperial Tokyo pada tahun 1908 yang menemukan bahwa asam glutamat dan bentuk garamnya memiliki rasa umami.
Profesor Ikeda, penemu rasa umami MSG
Rasa umami—juga dikenal dengan rasa gurih—adalah rasa dasar kelima yang dapat dirasakan oleh lidah manusia, selain manis, asam, asin, dan pahit. Umami menggambarkan keberadaan protein dan nukelotida dalam makanan; salah satu yang dapat memberikan rasa tersebut adalah asam glutamat yang merupakan salah satu jenis asam amino penyusun protein.
Di Indonesia, bentuk garam dari asam glutamat—yaitu monosodium glutamat (MSG)—memiliki nama populer ‘micin’. Yang membedakan micin dari perasa makanan lainnya adalah micin berinteraksi dengan makanan dan meningkatkan atau menyingkap rasa yang tersembunyi dari makanan tersebut sehingga rasa enak yang dibawanya akan bervariasi antar makanan.
Komposisi
MSG terdiri atas 12% sodium (atau natrium) dan 88% glutamat. Sodium adalah elektrolit yang dapat ditemukan juga dalam garam meja yang memiliki rumus kimia NaCl (natrium klorida). Sementara itu, glutamat adalah asam amino atau penyusun utama protein yang dapat diperoleh dari semua sumber alami yang mengandung protein, dari sayur-sayuran seperti tomat dan kacang hijau, daging seperti ikan dan ayam, hingga susu dan keju.
Rata-rata, glutamat menyusun 8‒10% kandungan asam amino dalam makanan berprotein, dengan kadar lebih rendah pada protein hewani dibandingkan protein nabati. Dahulu, glutamat diperoleh dengan cara ekstraksi dan kristalisasi rumput laut. Saat ini, glutamat diproduksi melalui fermentasi gandum, tebu, atau molase.
Sumber protein yang secara alami mengandung glutamat
Pada tahun 1960-an, micin mulai memperoleh ketenarannya. Saat itu, micin banyak digunakan sebagai bahan tambahan masakan China. Seorang dokter dari Maryland yang bernama Robert Kwok mempublikasikan sebuah surat yang isinya menceritakan bahwa ia mengalami gejala nyeri kepala, kebas, wajah kemerahan (flushing), kesemutan, berdebar-debar, dan mengantuk setiap kali makan di restoran China.
Ia mempertanyakan apa kiranya yang menyebabkan munculnya sekumpulan gejala yang sekarang dikenal dengan Chinese Restaurant Syndrome tersebut. Salah seorang neurosaintis kemudian melakukan penelitian pada tikus dan menemukan bahwa MSG dapat menyebabkan berbagai masalah pada sistem saraf, termasuk kerusakan otak dan gangguan perkembangan.
Berangkat dari hasil penelitian tersebut, MSG kemudian dianggap sebagai biang kerok atas Chinese Restaurant Syndrome dan dikenal dapat menyebabkan kerusakan otak.
Dari situlah mungkin mitos ‘micin bikin bodoh’ dimulai.
Hasil penelitiannya ada, meskipun dilakukan pada tikus. Lantas, apakah memang benar demikian bahwa kerusakan otak yang terjadi pada tikus penelitian disebabkan oleh MSG?
Apakah berbahaya?
Wahai generasi micin, janganlah dulu berburuk sangka. Jadi ternyata, penelitian yang menunjukkan bahwa MSG dapat menyebabkan kerusakan otak dilakukan dengan cara disuntikkan. Manusia jelas tidak mungkin kan mengkonsumsi micin dengan cara disuntikkan?
Selain itu, dari banyak penelitian telah diketahui bahwa tikus memang sangat rentan terhadap MSG karena otaknya tidak memiliki penjagaan dari zat-zat yang dapat merusak layaknya manusia.
Glutamat merupakan zat yang berperan dalam penyampaian pesan pada sistem saraf sehingga kadarnya yang berlebih dalam otak dapat menyebabkan sel-sel saraf terlalu terbebani dan dapat mengalami kematian sel. Oleh karenanya, kurang ketatnya penjagaan pada otak tikus dari zat-zat seperti glutamat memungkinkan terjadinya kerusakan otak karena glutamat yang berlebih dapat mencapai otak dan menyebabkan kematian sel-sel otak.
Berbeda dari tikus, manusia memiliki penjagaan dan sistem transportasi glutamat yang ketat. Kadar glutamat di dalam otak memang sudah tinggi dari sananya mengingat glutamat memiliki peran penting dalam proses pembelajaran dan daya ingat. Tingginya kadar tersebut menyebabkan glutamat dari luar otak tidak bisa masuk. Hal ini sesuai dengan prinsip difusi di mana zat akan berpindah dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, bukan sebaliknya.
Selain itu, sebagian besar glutamat yang dikonsumsi manusia melalui saluran pencernaan akan digunakan oleh sel-sel usus untuk memproduksi energi. Sedikit sekali (<5%) yang akan diserap dan masuk ke darah. Lagipula, konsumsi glutamat yang berasal dari MSG hanya sedikit (0,6‒1,5 gram per orang per hari) dibandingkan dengan konsumsi glutamat dari sumber alami lainnya (10‒20 gram per orang per hari). Manusia juga hampir tidak mungkin mengkonsumsi MSG secara berlebih karena kadar MSG dalam makanan yang melebihi 0,2‒0,8% dapat memberikan rasa makanan yang justru menjadi tidak enak. Jumlah yang sedikit itu tidak akan menyebabkan meningkatnya kadar glutamat dalam darah melebihi kadar glutamat dalam otak sehingga glutamat yang dikonsumsi tidak akan memberikan dampak apapun pada otak.
Keamanan MSG telah diteliti sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1988, Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) menyimpulkan bahwa anjuran asupan harian (acceptable daily intake) untuk membatasi konsumsi MSG tidak diperlukan karena jumlah total konsumsi MSG tidak menggambarkan bahaya apapun terhadap kesehatan. Akhir-akhir ini, European Food Safety Authority (EFSA) mengevaluasi ulang dan menetapkan anjuran asupan harian MSG 30 mg/kg berat badan (sekitar 1,8 gram sehari untuk orang dewasa dengan berat badan 60 kg).
Sekarang sudah tahu kan berarti bahwa sebenarnya ‘micin bikin bodoh’ itu hanya mitos. Rasanya yang enak memang dapat memicu bagian di otak yang berperan dalam kesenangan sehingga beberapa orang merasa ketagihan. Akan tetapi, bukan berarti malah mengkambinghitamkan micin sebagai penyebab orang menjadi bodoh kan?
Tulisan ini adalah kiriman dari penulis. Kamu juga bisa membuat tulisanmu sendiri di Saintif dengan bergabung di Saintif Community
Referensi:
[1] Henry-Unaeze, HN, Update on food safety of monosodium l-glutamate (MSG), Pathophysiology (2017); 24:243–249.
[2] Smriga, M, Food-added monosodium glutamate does not alter brain structure or antioxidant status, Pathophysiology (2016); 23:303–305.
[3] Stańska, K & Krzeski, A, The umami taste: from discovery to clinical use, Otolaryngol Pol 2016; 70 (4):10-15.
[4] U.S. Food and Drug Administration, 2012, Questions and Answers on Monosodium glutamate (MSG) [Diakses dari https://www.fda.gov/food/ingredientspackaginglabeling/foodadditivesingredients/ucm328728.htm pada 14 Juli 2018].
[5] Tu, C, 2014, Is MSG Bad For Your Health? [Diakses dari https://www.sciencefriday.com/articles/is-msg-bad-for-your-health/ pada 14 Juli 2018].