Ketika kamu mendaftar sebagai relawan di tempat bencana, tentunya ada ekspektasi—dari diri sendiri maupun orang lain—bahwa kamu harus “kuat, berani, dan menolong tanpa pamrih.”
Apalagi kalau kamu memang memiliki profesi penolong, seperti dokter, perawat, psikolog, petugas pemadam kebakaran, polisi, dan sebagainya.
Wah, bisa jadi banyak orang yang menggantungkan harapannya padamu!
Tapi tahukah kamu, bahwa para relawan pun rentan mengalami masalah kejiwaan?
Sayangnya, kesehatan mental relawan nampaknya belum menjadi perhatian di negara yang rawan bencana ini.
Padahal, bagaimana mau efektif menolong sesama bila kita tidak mampu menolong diri sendiri? Makanya yuk kenali isu ini dan cara mengatasinya!
Hal-hal yang berpotensi menimbulkan trauma psikologis pada relawan
Daerah bencana merupakan tempat yang sulit diprediksi, terutama dalam beberapa hari pertama setelah kejadian bencana.
Sebelum memutuskan untuk pergi membantu, ada baiknya kamu mempertimbangkan sejumlah hal yang mungkin kamu temukan atau alami di sana:
- Melihat langsung jenazah korban, baik yang masih utuh maupun sudah tidak utuh
- Melihat foto-foto dokumentasi jenazah korban
- Mendengar cerita-cerita traumatik dari korban yang selamat
- Dalam kasus-kasus bencana yang masih berlangsung, mungkin rekan relawan kamu ikut hilang atau terluka berat
- Tempat tinggal atau lingkungan kerja relawan yang minim fasilitas
- Ketiadaan sinyal telepon atau internet, yang menyebabkan isolasi dari dunia luar
- Tuntutan untuk membuat keputusan penting di lapangan, yang bukan tidak mungkin merupakan pilihan hidup atau mati seseorang
- Tidak mampu membantu atau menyelamatkan seseorang secara optimal atau tepat waktu
- Kurang tidur
- Berbagai ketidakpastian yang wajar ditemui di tempat bencana
Perhatikan bahwa kamu tidak harus mengalami langsung bencana tersebut untuk berisiko mengalami masalah mental. Kamu mungkin saja “hanya” mendengar cerita atau terlibat secara tidak langsung, namun tetap terkena dampak kejiwaan.
Masalah kesehatan mental yang mungkin ditemukan pada relawan
1. Gangguan penyesuaian
Gangguan penyesuaian dapat terjadi di saat-saat awal kamu tiba. Kondisi lingkungan kerjamu mungkin berbeda jauh dari kondisi kerjamu yang biasa.
Hal ini bisa saja mengguncangmu sehingga kamu merasa lebih sedih atau lebih cemas daripada biasanya.
2. Depresi
Depresi tidak harus ditandai dengan sedih atau menangis berkepanjangan. Pada beberapa orang, gejalanya mungkin berupa mudah tersinggung atau mudah marah.
Selain itu, depresi juga menyebabkan kurang energi atau perasaan lebih mudah lelah, hilang minat, sulit tidur atau tidur berlebihan, kurang selera makan atau makan berlebihan, kurang konsentrasi, perasaan bersalah atau tidak berdaya yang berlebihan, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, dan keinginan bunuh diri.
3. Reaksi stres akut
Reaksi stres akut muncul dalam kurang-lebih satu bulan setelah terpapar peristiwa traumatik.
Gambarannya mencakup mimpi buruk, flashback (merasa seolah kamu mengulangi kembali peristiwa traumatik tersebut), tidak mampu mengingat peristiwa yang bersangkutan, perilaku menghindari orang atau tempat yang mengingatkan akan peristiwa traumatik, sulit tidur, mudah kaget, perasaan tegang terus-menerus seperti dalam bahaya, menarik diri dari keluarga dan sahabat.
4. Gangguan stres pascatrauma (GSPT)
GSPT atau yang lebih dikenal dengan posttraumatic stress disorder (PTSD) merupakan kelanjutan dari reaksi stres akut yang tidak diintervensi.
Gejala-gejalanya sama seperti reaksi stres akut, tetapi bisa jadi muncul berbulan-bulan sesudah kamu selesai bertugas di tempat bencana.
Tips merawat kesehatan mentalmu sebagai relawan
- Sadari dan jangan malu mengakui bahwa kamu mungkin memerlukan dukungan mental. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Kesehatan mentalmu sama pentingnya dengan kesehatan fisikmu.
- Sadari bahwa kamu adalah individu yang berbeda dari relawan lain, dengan kebutuhan yang berbeda pula.
- Kenali batasan dirimu. Kamu bukan Tuhan yang bisa mengatasi segalanya. Ketahui kapan kamu memerlukan istirahat atau self-care, atau bahkan perlu meninggalkan tempat bencana.
- Bawalah benda-benda menyenangkan yang bisa kamu manfaatkan sebagai self-care. Misalnya, novel yang menyenangkan, kitab suci dan alat bantu doa, boneka, foto orang tercinta, alat pemutar musik, board game, dan sebagainya.
- Sedapat mungkin tetap lakukan hal-hal kecil yang menjadi rutinitas kamu. Misalnya, sholat lima waktu, menyeduh kopi atau teh di pagi hari, mandi, mencuci piring, berdoa sebelum tidur, dan seterusnya. Dalam masa-masa yang penuh ketidakpastian, rutinitas sederhana sekalipun membantu menjaga sense of normalcy dan menjaga stabilitas mentalmu.
- Ceritakan perasaan dan pikiranmu kepada sesama relawan yang kamu percaya. Apapun perasaan dan pikiran itu, semuanya wajar dan sah-sah saja, tidak ada yang salah atau benar.
- Bila tersedia alat olahraga di tempat tinggal relawan, manfaatkan fasilitas tersebut. Olahraga akan memicu pelepasan zat-zat kimia otak seperti endorfin dan serotonin yang menjaga mood kamu tetap positif.
- Bila kamu masih merasa tidak nyaman sesudah pulang dari tugas, carilah pertolongan lebih lanjut dari psikolog atau psikiater.
Bagaimana kalau kamu yang diminta bantuan untuk menolong sesama relawan?
- Sadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Buang jauh-jauh stigma terhadap masalah mental. Jangan anggap rekanmu yang perlu bantuan itu lemah.
- Sadari bahwa rekan relawanmu adalah individu yang unik. Walaupun dua relawan menghadapi permasalahan yang sama, pikiran dan perasaan mereka bisa sangat berbeda dan semuanya sah-sah saja.
- Dengarkan cerita rekan relawanmu dengan empatik dan tanpa menghakimi. Jangan berikan respon negatif bahkan jika rekanmu mengekspresikan emosi yang negatif (sedih, marah, kesal, keinginan melawan, dan lain sebagainya).
- Kamu tidak harus merespon setiap kalimat yang diungkapkan. Keheningan yang pas dan penuh penerimaan sama pentingnya.
- Jangan memberi nasehat bila tidak diminta. Yang terpenting pada saat ini adalah ketersediaan telinga yang mau mendengar dan hati yang mau menerima. Memberi nasehat terlalu dini menyiratkan bahwa kamu menganggap diri lebih tahu daripada rekanmu.
- Fokuskan perhatianmu pada rekan yang sedang bercerita. Upayakan tidak ada interupsi yang kurang penting. Hal ini menandakan bahwa kamu mendukung dia sepenuhnya. Kalaupun harus ada interupsi, katakan “Maaf” atau “Permisi” terlebih dulu.
- Berikan pujian pada saat yang tepat, dalam porsi yang pas, dan tentang hal-hal spesifik yang memang layak dipuji. Misalnya, pujilah keberanian rekanmu bercerita, pujilah niat baiknya menolong korban, dan sebagainya.
Gunakan kata-kata faktual, misalnya: “Kamu sudah melakukan langkah yang benar untuk bercerita tentang ini”, bukan kata-kata bombastis namun samar seperti: “Wah kamu berani ya, luar biasa!” (berani untuk apa? luar biasa apanya?) - Ciptakan suasana positif dengan kata-kata yang sejuk dan penuh dukungan. Benda-benda kecil seperti tisu dan segelas air hangat mungkin membantu.
Menolong sesama yang sedang tertimpa musibah merupakan perbuatan yang mulia, apalagi bila didasari niat yang tulus ikhlas.
Tetapi ingat bahwa bencana dapat memengaruhi siapa saja, termasuk kamu sebagai relawan penolong.
Semoga dengan ini kamu lebih siap memberikan bantuan dengan lebih efektif dan efisien ya!
*
Referensi
- First Responders and Mental Health (Psychology Today)
- Disaster mental health: Meeting the unique needs of first responders (EMS1.com)
- [Artikel ilmiah] Benedek DM, dkk. First responders: Mental health consequences of natural and human-made disasters for public health and public safety workers. Ann Rev Pub Health. 2007;28:55-68.