Dalam film berjudul Powder tahun 1995, muncul suatu ekspresi yang menyatakan bahwa teknologi jelas telah melampaui interaksi manusia. Tampaknya memang benar kan. Siapa di antara kalian yang lebih suka bertemu langsung daripada mengobrol lewat L*NE? Siapa di antara kalian yang tidak menggunakan ponsel saat berkumpul bersama keluarga?

Quotes pada film Powder (1995)

 

Saat ini, kau sedang membaca sebuah artikel di saintif. Itu berarti, kau sedang terhubung dengan internet menggunakan entah ponsel pintar atau personal computer atau laptop. Untuk memperoleh informasi terkini dari saintif, kau follow instagramnya yang berarti menggunakan aplikasi dalam ponsel pintarmu. Itu semua teknologi, kan?

Hanya saja, mungkin jika yang kau lakukan dengan ponsel pintarmu dan internet hanya sebatas membaca artikel populer dan berita, kau bukanlah bagian dari gadget addict.

 

Memangnya gadget addict benar-benar ada?

Belum terdefinisikan sih sebenarnya istilah gadget addict itu. Namun, beberapa artikel ilmiah berusaha mengkaji dan memasukkan istilah seperti smartphone dependence dan internet addiction di bawah payung istilah gadget addiction.

Smartphone dependence memang belum memiliki definisi yang jelas: apakah itu adalah penggunaan ponsel pintar secara berlebih atau ketergantungan terhadap ponsel pintar. Meskipun demikian, istilah mobile phone addiction, yang dianggap tidak berbeda dari smartphone dependence, sering digunakan dalam penelitian untuk mempelajari ketergantungan terhadap ponsel menggunakan kriteria dependence syndrome dari International Code of Disease edisi ke-10. Padahal kriteria dependence syndrome yang dipakai tersebut sebenarnya ditujukan untuk penyalahgunaan zat psikoaktif, alkohol, dan rokok. Aneh juga ya?

Sebenarnya mungkin cukup masuk akal sih mengapa smartphone dependence dipertimbangkan sebagai salah satu gangguan psikiatri (lebih umum dikenal dengan kejiwaan). Diperkirakan 70% orang menggunakan ponsel dalam 1 jam pertama setelah bangun tidur di pagi hari, 56% mengecek ponsel mereka sebelum pergi tidur, dan 51% mengecek ponselnya secara terus-menerus bahkan di saat momen liburan. Penelitian tentang perilaku yang berkaitan dengan penggunaan ponsel secara berlebih di kalangan siswa SMA menunjukkan bahwa mereka memiliki perilaku yang sesuai dengan kriteria adiksi atau kecanduan. Sebuah survey juga menunjukkan bahwa 44% respondennya mengalami kecemasan dan mudah marah ketika tidak dapat menggunakan ponsel selama seminggu.

Tidak hanya berdampak pada kesehatan jiwa, perilaku yang muncul pada orang-orang yang terlalu gemar berponsel ria juga dapat mengakibatkan kecelakaan bahkan kematian. Sering lihat kan orang-orang yang terlalu sibuk dengan gadget-nya tidak memerhatikan lalu lintas sekitarnya sehingga terjadilah kecelakaan. Dari kecelakaan itu bisa saja jatuh korban jiwa. Selain itu, meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut, penggunaan ponsel yang terlalu sering diduga berkaitan dengan kejadian tumor otak. Seram kan?

Karena tidak lengkap rasanya apabila ponsel pintar tidak dilengkapi dengan koneksi internet, muncullah dalam pembahasan ini kondisi lain yang sama-sama populer tetapi tidak banyak disadari oleh orang-orang. Ia adalah internet addiction. Siapa sih hari gini yang belum pernah menjamah internet? Bahkan saat ini Wha**app sudah mampu menggulingkan SMS dalam hal berkirim pesan.

Istilah internet addiction (terkadang dikenal juga dengan cyber dependence) memayungi ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas di dunia maya yang meliputi cybersex, cyber-relationship, online gaming, online shopping, online gambling, bahkan pencarian menggunakan mesin pencari seperti G**gle atau pencarian database dalam hal penelitian. Heran juga ya ada orang yang adiksi terhadap penelitian di dunia maya. Perlu kamu ketahui juga nih, sebagai bagian dari internet addiction, online gaming malah sudah dimasukkan ke dalam perilaku adiktif atau kecanduan dalam buku panduan yang dipakai hampir di seluruh dunia untuk mendiagnosis gangguan jiwa berjudul Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5.

Penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog dari Universitas Texas menunjukkan bahwa 13% pengguna internet di kalangan siswa SMA memenuhi kriteria ketergantungan, di mana 72% di antaranya adalah laki-laki. Di antara orang-orang yang senang berselancar di dunia maya (web surfers), sekitar 5–10% mengalami ketergantungan dan menunjukkan gejala depresi serta cemas. Ternyata menurut sebuah penelitian di China, para siswa yang merupakan internet addict mengalami pengecilan ukuran bagian otak yang mengatur ingatan jangka pendek dan kemampuan pengambilan keputusan. Sepertinya ini sejalan dengan suatu kondisi yang dinamakan digital amnesia syndrome.

 

Wah apa lagi tuh digital amnesia syndrome?

Ketika kamu sedikit-sedikit browsing untuk mencari tahu tentang sesuatu tanpa berusaha mengingatnya, itulah yang dinamakan digital amnesia syndrome. Kehilangan data di ponsel atau tempat penyimpanan lain membuat orang-orang dengan digital amnesia syndrome menjadi stress (istilah ini salah kaprah ya, yang benar adalah distress), terutama mereka yang perempuan dan berusia kurang dari 35 tahun. Kebiasaan yang muncul pada kondisi ini mencegah terbentuknya ingatan jangka panjang karena proses mengingat adalah saat-saat di mana otak mengubah suatu ingatan jangka pendek menjadi ingatan jangka panjang. Proses tersebut dikenal dengan istilah konsolidasi.

Ada lagi nih kondisi lain yang berkaitan dengan pencarian informasi secara berlebihan di internet dan cukup membuat para dokter dongkol, yaitu cyberchondria. Akses internet yang begitu mudah menyebabkan orang-orang sedikit-sedikit merasa mengidap penyakit tertentu ketika menemukan beberapa gejala penyakit tersebut kok sepertinya mereka alami. Mereka menjadi yakin bahwa mereka memang mengalami penyakit tersebut sehingga menjadi depresi dan cemas. Lalu si dokter berusaha menjelaskan tetapi mereka tetap teguh dengan keyakinannya itu. Mereka makin cemas dan dokternya juga jadi ikut cemas karena tidak tahu harus menanganinya sebagai pasien psikiatri atau pasien penyakit dalam.

Sekarang sudah tahu kan bahwa bukan cuma NAPZA yang bisa bikin ketagihan. Meskipun belum dibakukan sebagai suatu gangguan tersendiri, gadget addict tetap perlu diwaspadai ya. Oleh karenanya, mari gunakan ponsel dan internet secara bijak, contohnya dengan sering-sering main ke webblog saintif ini supaya makin berilmu. Bagi yang senang melakukan penelitian di bidang psikiatri, topik ini bisa jadi peluang besar lho!

 

Referensi:

[1] Ranjan, B, Malay, G, Kaustav, C, Kumar, MS, Gadget addiction, technostress, internet addiction: Upcoming challenges, Bengal Journal of Private Psychiatry (July 2016), https://www.researchgate.net/publication/307512740_Gadget_addiction_Technostress_Internet_addiction_Upcoming_challenges.

[2] Nikhita, CS, Jadhav, PR, Ajinkya, SA, Prevalence of Mobile Phone Dependence in Secondary School Adolescents, Journal of Clinical and Diagnostic Research (2015); 9(11):VC06‒VC09.

[3] Jorgenson, AG, Hsiao, RCJ, Yen, CF, Internet Addiction and Other Behavioral Addictions, Child Adolesc Psychiatric Clin N Am (2016); 25:509–520.

[4] Khaliq, A, 2017, Addiction of Gadgets Could Lead to Digital Dementia [Diakses dari https://www.onlymyhealth.com/are-you-addicted-to-your-gadgets-1416221746 pada 19 Juli 2018].

[5] Saunders, JB, Substance use and addictive disorders in DSM-5 and ICD 10 and the draft ICD 11, Curr Opin Psychiatry 2017; 30:000–000.