Depresi tidak bisa dianggap main-main.
Berdasarkan data WHO, 350 juta penduduk dunia menderita depresi. Ia bisa menyerang siapa saja, tak peduli ras, umur, kelamin, lingkungan, dan lain sebagainya.
Efeknya pun tak main-main, karena ia bisa membelenggu potensi seseorang atau bahkan mengantarkannya untuk mengakhiri hidup.
Namun demikian, banyak orang yang salah paham tentang depresi.
Diagnosis diri yang keliru
Banyak orang yang mengaku-ngaku depresi, padahal tidak. Sedih sedikit, lalu merasa kalau dirinya sedang depresi.
Sedih itu wajar… tapi sedih itu sangat berbeda dengan depresi.
Depresi tidak sesederhana perasaan sedih ataupun stress, diagnosis depresi harus membutuhkan penanganan khusus dari psikolog atau psikiater professional. Karenanya, kamu tidak bisa mendiagnosis diri (self-diagnose) depresi.
Saya ulangi lagi, kamu tidak bisa mendiagnosis diri sendiri kalau kamu sedang depresi.
Kamu hanya bisa mengenali tandanya, tapi tidak bisa mendiagnosis diri. Tanda depresi yang paling sederhana adalah perasaan sedih yang berlarut sampai berbulan-bulan atau bahkan tahun.
Kalau kamu sedih beberapa hari karena ditinggal pacar, atau sedih karena tidak lulus ujian, kemungkinan besar itu bukan depresi. Karena selang beberapa hari (atau minggu) perasaanmu paling sudah pulih.
Definisi depresi
Definisi depresi dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV) atau buku panduan penyakit mental yang digunakan di seluruh dunia yaitu,
Depression is either sad mood or lack of interest in daily activities or the ability to gain pleasure from these activities.
Atau dengan kata lain, depresi adalah perasaan sedih terus menerus, tidak adanya gairah dalam melakukan kegiatan sehari-hari atau kondisi tidak bisa meraih kesenangan dari kegiatan tersebut.
Beberapa gejala dari depresi:
- Perasaan sedih mendalam terus menerus,
- Kehilangan motivasi,
- Tidak bisa tidur,
- Tidak nafsu makan atau maunya makan melulu,
- Berat badan naik atau turun,
- Penurunan libido
- Gangguan konsenstrasi,
- Merasa bersalah,
- Pikiran-pikiran untuk menyakiti diri sendiri,
- Ide untuk bunuh diri sampai percobaan bunuh diri
Pada orang yang depresi, perasaan-perasaan sedih tersebut terus menghantuinya setiap hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Skemanya seperti ini:
Orang normal yang mengalami stress bisa saja turun ke kondisi “down state”, akan tetapi tak berselang lama ia akan kembali ke “normal state”. Sementara itu, orang yang depresi jatuh ke bawah kondisi “down state” dan tidak bisa kembali (secara natural) ke kondisi normal.
Neurosains
Banyak yang mengira kalau depresi tidak punya bukti fisik sebagai sebuah penyakit, karena ia berurusan dengan mental.
Atau yang lebih parah lagi, banyak yang menganggap orang depresi hanya mengada-ada dan cari perhatian.
Padahal, riset-riset di bidang neurosains telah menunjukkan bahwa gangguan mental seperti depresi juga punya bukti fisik. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diamati:
1. Aktivitas otak
Dengan menggunakan perangkat fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) dan PET (Possitron Emission Tomography), kita bisa melihat aktivitas otak seseorang, termasuk aktivitas otak penderita depresi.
Dari citra hasil scan otak, diketahui bahwa ada penurunan aktivitas otak di beberapa tempat pada orang yang menderita depresi. Bagian yang menurun tersebut antara lain adalah bagian yang penting untuk mengatur mood, konsentrasi, proses berpikir, dan mengambil keputusan.
Kondisi ini membuat mereka menjadi mudah sensi dan dikelilingi oleh perasaan negatif di setiap waktu.
2. Ketidakseimbangan senyawa kimia di otak
Salah satu senyawa kimia di otak yang berperan untuk mengatur emosi adalah serotonin. Ia bertugas untuk mengatur perasaan senang pada seseorang.
Sayangnya, pada orang yang depresi, kadar serotonin ini lebih rendah dibanding orang normal.
Kondisi ini membuat orang yang depresi cenderung kurang bahagia dan tidak bisa meraih keseneangan dari aktivitas yang ia lakukan.
3. Volume hippocampus yang berkurang
Ketika seseorang sedang stress atau kondisi serupa lainnya, tubuh merespon dengan mengeluarkan hormon kortikosteroid, yang berfungsi sebagai regulator sistem tubuh ketika mengalami perubahan.
Normalnya, kortikosteroid ini dikeluarkan hanya dalam jangka waktu yang pendek.
Akan tetapi, pada orang yang menderita depresi, kortikosteroid ini dikeluarkan secara berlebihan, dan dalam jangka waktu yang panjang akan mempengaruhi ukuran dari hippocampus.
Hippocampus adalah bagian dari otak yang berperan untuk memproses ingatan.
Depresi berkepanjangan bisa memperkecil volume hippocampus di otak. Hal ini kemuian menyebabkan penderita menjadi mudah lupa atau tidak bisa berkonsentrasi dengan baik.
Perbandingan volume hippocampus orang normal (atas) dengan orang depresi (bawah)
Perubahan struktur pada otak tersebut membuat orang-orang yang depresi sulit untuk bangkit menjadi normal kembali.
Bukannya mereka tidak mau berusaha, tetapi kondisi otak tersebut telah menghambat mereka.
Mengukur tingkat depresi
Beberapa waktu lalu, di internet cukup ramai sebuah kuisioner yang ditujukan untuk mengukur tingkat depresi seseorang.
Banyak yang mencobanya, lalu mengambil kesimpulan (dari hasil kuisioner) kalau dirinya sedang dalam kondisi sehat, depresi ringan, atau bahkan depresi berat.
Kuisioner tersebut tidak keliru, kuisioner tersebut juga resmi dari Kementerian Kesehatan, tapi narasi yang disampaikan orang-orang tidak lengkap, sehingga menggiring pada misinformasi.
Yang pertama, kuisioner tersebut digunakan hanya untuk deteksi dini, bukan untuk mendiagnosis.
Yang kedua, metode dalam kuisioner ini menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS), salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis depresi pada usia lanjut (lansia). Tidak selalu cocok untuk usia lainnya.
Dan sekali lagi saya ingatkan, kamu tidak bisa melakukan diagnosis diri (self-diagnose) untuk kasus seperti depresi ini. Jika memang hasil kuisioner tersebut menunjukkan hasil positif, silahkan rujuk ke psikiater atau psikolog professional.
Untuk lebih memahami terkait depresi ini, silahkan lihat video dari WHO yang menggambarkan kehidupan seseorang yang depresi:
Apa yang perlu dilakukan?
Jika kamu bukan penderita depresi, setidaknya ada tiga hal yang perlu kamu lakukan ketika bertemu dengan orang depresi:
1. Jangan meremehkan penyakit ini, pula jangan meremehkan penderitanya. Menganggap mereka sebagai orang yang jauh dari agama, tidak bermanfaat, menjauhi mereka karena mereka tak pernah bersemangat, dan lain sebagainya tidak akan banyak membantu. Jadi, lebih baik jangan lakukan hal ini.
2. Jadilah pendengar yang baik, tak perlu terlalu banyak memberikan nasehat-nasehat yang justru memperburuk keadaan (seperti pada nomer 1).
Cukup lah jadi pendengar yang baik, tanyakan apa keluh kesahnya, dan berikan support terbaik.
3. Rujuk ke bantuan professional
Depresi memerlukan penanganan yang tepat, karenanya akan lebih baik jika kamu dapat membantu untuk merujuk ke bantuan professional.
Penderita akan mendapatkan terapi, obat, dan lain-lain yang dapat menyembuhkannya.
Tetap ingat di dalam hati bahwa depresi adalah penyakit mental yang dapat disembuhkan, jika penanganannya tepat.
Karena itu, tetap semangat.
Tulisan ini disadur dari Zenius – Apa Bedanya Sedih Biasa dengan Depresi? dengan beberapa tambahan.
Mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, jika ada pembaca yang lebih paham, mohon untuk menambahkan informasi penting yang mungkin terlewat dalam tulisan ini.
Referensi
- Stuck in a rut: rethinking depression and its treatment. Holtzheimer PE1, Mayberg HS. Trends Neurosci. 2011 Jan;34(1):1-9. doi: 10.1016/j.tins.2010.10.004. Epub 2010 Nov 8.
- Hippocampal volume reduction in major depression. Bremner JD1, Narayan M, Anderson ER, Staib LH, Miller HL, Charney DS. Am J Psychiatry. 2000 Jan;157(1):115-8.