Dapatkan Kita Mengendalikan Cuaca? Ini teknologinya

Impian manusia untuk bisa mengendalikan cuaca sudah ada sejak lama. Seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi kita, impian ini kayaknya masih sulit dilakukan dalam waktu dekat.

Berbagai percobaan mengendalikan cuaca telah dilakukan untuk tujuan baik. Seperti mengusir awan hujan supaya tidak banjir, membuat hujan buatan di wilayah yang kekeringan,

Memadamkan kebakaran hutan dan kabut asap, mencegah terjadinya badai hujan es dan taifun, membersihkan udara dari polusi asap, atau bahkan saat perang untuk membuat musuh kesulitan bergerak karena hujan deras.

Dengan kemajuan teknologi komputer termutakhir saja yang mampu mensimulasikan proses fisika atmosfer global. Ilmuwan masih sering dipusingkan bagaimana perubahan input parameter tertentu ke dalam model komputer dapat memberi output yang diluar dugaan.

Bagaimana proses fisika atmosfer di dunia nyata bisa kita atur sehingga berjalan sesuai kehendak kita? Dapatkah umat manusia mengendalikan cuaca?

Ini adalah daftar dari teknologi-teknologi yang umat manusia gunakan untuk mengendalikan cuaca. Dari yang takhayul, teknologi yang dioperasikan sekarang hingga teknologi masa depan yang mungkin kita terapkan.

Teknologi Pengendali Cuaca

1. Hail Cannon

Hail cannon berupa meriam berukuran besar seperti terompet raksasa yang diarahkan ke langit. Campuran bahan kimia acetylene dan oksigen dibakar di bawah moncong. Lalu terciptalah ledakan dan membuat gelombang kejut yang akan diteruskan ke arah langit.

Hail cannon digunakan oleh petani anggur di pedesaan di Prancis pada awal abad ke-20. Petani menggunakannya untuk mencegah terjadinya hujan es besar yang dapat merusak perkebunan.

Tampak masuk akal, gelombang kejut yang diarahkan ke awan badai diharapkan akan menggetarkan es-es di dalamnya. Sehingga es pecah menjadi butiran-butiran kecil atau menjadi air saat hujan turun.

Tapi kenyataannya tidak begitu, es yang terbentuk di awan tetaplah terbentuk dan jatuh sebagai butiran es besar di tanah.

Tekanan udara gelombang kejut yang dibutuhkan untuk setidaknya menggetarkan awan pada ketinggian 1 km adalah 300 hPa. Sedangkan gelombang kejut hail cannon bahkan pada jarak 100 m hanya mencapai 1,3 hPa.

Lagipula awan badai juga memproduksi gelombang kejut sendiri dengan gelegar pelepasan muatan elektron oleh aktivitas petir. Yang terjadi justru para petani dimarahin tetangganya karena suara ledakannya yang amat berisik. Sehingga penggunaan hail cannon sudah ditinggalkan sekarang karena tidak efektif dan malah merugikan.

2. Cloudbuster

Wilhelm Reich membuat alat yang dia beri nama Cloudbuster. Yang diklaim dapat membuat hujan dengan mengendalikan energi orgone yang ada di atmosfer.

Alat ini berupa lanjaran pipa logam yang diarahkan ke langit dan diisi air, yang tampak seperti senjata militer kelas tinggi.

Cloudbuster dipakai selayaknya penangkal petir, yang dapat mengumpulkan energi orgone dan menyerapnya dari atmosfer melalui media air yang di dalam pipa. Absennya energi orgone di udara katanya dapat membentuk awan dan hujan.

Faktanya, cloud buster dan energi orgone hanyalah pseudosains belaka, tidak pernah ada energi orgone di dunia nyata. Jadi sekarang alat ini hanya menjadi artefak di pedesaan Eropa.

3. Sesajen dan Dupa

Teknologi khas Indonesia ini sering digunakan pada acara-acara konser dan upacara besar untuk mencegah adanya hujan. Berbeda dengan aktivitas berdo’a yang bisa dilakukan siapa saja, aktivitas ini memerlukan orang khusus yang dipercaya sakti.

Dengan dipandu sang pawang hujan, sesajen dan dupa dipersembahkan di tempat “strategis”. Dengan perantara asap dupa untuk menyampaikan niatnya dalam mantra-mantra ke awan-awan di langit untuk pergi dari tempat tersebut.

Sudah tentu ini bukanlah sains, aktivitas seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Metode ini masih sering digunakan di daerah pelosok oleh suku-suku pedalaman dari Amazon hingga perkotaan Jakarta.

Keefektifan metode ini jelas diragukan, pawang hujan seringkali gagal mengendalikan cuaca, keberhasilan yang terjadi semata-mata hanya kebetulan.

4. Kincir Angin

Belanda dengan banyaknya kincir angin berfungsi salah satunya untuk mengusir awan. Negeri dataran rendah ini dalam setahun hujan turun selama 5 bulan.

Para ilmuwan dan insinyur Belanda menggunakan kincir angin dengan kecepatan rotasi tinggi untuk mampu mengusir awan dari wilayahnya.

Bukan, bukan, ini hanya candaan yang dibuat oleh Google Netherlands untuk perayaan aprilmop 2017. Tidak ada teknologi semacam ini di kehidupan nyata untuk mengusir awan.

Meski agak masuk akal, namun perlu energi amat besar untuk memproduksi angin kencang yang mampu mengusir awan di langit dari kincir angin dengan diameter 18 meter ini. Sangat tidak efektif dan membuang energi.

5. Cerobong

Berbeda dengan asap dari dupa/sesajen yang hanya mengandung pesan abstrak untuk dikirimkan ke langit. Asap dari cerobong ini mengandung material nyata yang dapat membuat awan-awan bertumbuh dan menghasilkan hujan.

Cerobong ini mengeluarkan asap berupa serbuk partikel semai Silver Iodium (AgI) dan dry ice (CO2) berukuran mikrometer yang akan dibawa oleh angin.

Penempatan cerobong ini harus strategis di pegunungan atau perbukitan tempat berlangsung proses pembentukan awan orografis.

Metode ini adalah salah satu teknik penyemaian awan glaciogenik. Dengan mencampuri proses fisis awan dingin yang memiliki suhu super dingin hingga -40°C.

Di wilayah subtropis, uap air di atmosfer tidak dapat begitu saja berubah fasa menjadi tetes-tetes air. Meskipun suhu lingkungannya sudah mencapai titik beku.

Uap air akan berkondensasi menjadi tetes air bila menumbuk inti kondensasi berupa debu kecil atau organisme kecil yang mengapung di atmosfer.

Penambahan AgI yang memiliki struktur kristal mirip dengan kristal es ke atmosfer. AgI berperan sebagai inti kondensasi buatan akan mempercepat uap air menjadi tetes-tetes air dan es.

Dry ice berperan untuk menurunkan suhu lingkungan selagi molekul ini menguap. Sehingga awan semakin dingin dan semakin banyak kristal es yang terbentuk menjadi air hujan dan salju.

Menurut penelitian metode ini dapat meningkatkan hujan hingga 10%. Sayangnya cara ini hanya bisa digunakan terbatas di suatu wilayah. Harus ada ketersediaan uap air yang cukup di atmosfer di wilayah tersebut dan sangat bergantung pada angin.

Pemerintah negara bagian Wyoming, Amerika Serikat telah melakukan aktivitas penyemaian awan dengan cerobong untuk operasional. Dilakukan sepanjang bulan November hingga April untuk menambah intensitas curah hujan. Guna pasokan air di wilayahnya selama musim panas yang kering.

6. Roket dan Meriam

Seperti roket yang digunakan dalam peperangan, roket ini berguna untuk menembak jatuh targetnya dari langit. Namun bukan pesawat atau drone, tapi air di dalam awan agar jatuh menjadi hujan atau salju.

Bila cerobong bergantung pada angin yang bisa saja menerbangkan bahan semai ke target yang salah. Maka roket digunakan untuk mengirim bahan semai langsung ke dalam awan target.

Sama dengan cerobong, roket membawa bahan semai AgI dan dry ice untuk disebarkan ke dalam awan-awan potensial yang mampu diperbesar hasil curah hujannya.  

Penggunaan roket dan meriam untuk penyemaian awan sudah diterapkan untuk keperluan rutin di China. Seperti pada Olimpiade Beijing 2008 untuk mencegah hujan terjadi di venue olahraga dan memasok keperluan air untuk pertanian.

7. Pesawat terbang

Keefektifan pengiriman bahan semai oleh cerobong dan roket ke awan target yang masih rendah, maka pesawat akan mengirimkannya langsung ke atmosfer menghampiri awan.  Meskipun biayanya lebih besar, pesawat sudah sering digunakan karena lebih presisi.

Proyek Stormfurry dan Cirrus oleh Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an pernah menggunakan pesawat untuk menghalau hurricane (badai siklon) dengan menyebarkan AgI ke dinding-dinding mata badai. Namun proyek ini dihentikan karena hurricane seringkali malah semakin tumbuh dan bukannya melemah.

Sejak tahun 1980-an Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) Indonesia mulai menggunakan pesawat untuk menyebarkan bahan semai ke dalam awan potensial.

Bahan semai yang digunakan di Indonesia menggunakan garam, karena karakteristik awan tropis yang relatif bersuhu lebih tinggi daripada awan di wilayah subtropis.

Teknik penyemaian awan hygroscopic dengan garam berguna untuk mengikat tetes-tetes air yang ada di awan untuk bergabung membentuk tetes-tetes air berukuran yang lebih besar, sehingga hujan dapat terjadi.

Indonesia sudah menggunakan teknologi ini untuk keperluan operasional sejak tahun 2000, seperti untuk meningkatkan intensitas hujan melawan kebakaran hutan gambut,

atau untuk membuat awan supaya hujan di tengah laut sebelum mencapai Jakarta agar tidak banjir, dan menambah pasokan air irigasi.

Meski demikian, teknologi penyemaian awan masih banyak disangsikan oleh ilmuwan. Karena keefektifannya dalam menambah curah hujan yang relatif rendah dan susahnya mengkonfirmasi apakah curah hujan meningkat akibat bahan semai atau hal lain karena banyaknya faktor yang berpengaruh.

8. Antena

Perusahaan Meteo Systems of Switzerland membuat antena yang memancarkan triliunan ion atau partikel bermuatan listrik untuk membuat awan dan hujan.

Percobaan yang dilakukan di tengah gurun pasir Uni Emirat Arab mengklaim teknik ini mampu meningkatkan intensitas hujan di UEA selama tahun 2010, meskipun para ilmuwan memandang penuh skeptis.

Menurut teorinya, ion mengikat inti kondensasi di awan dan mampu membuatnya bertahan lama di udara. Semakin lama bertahan di udara, semakin banyak waktu untuk tetes-tetes air dapat tumbuh menjadi hujan.

World Meteorological Organization (Badan Meteorologi PBB) mengatakan metode ini tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat dan patut dicurigai klaim hasil hujan buatannya.

Antena HAARP? High Frequency Active Auroral Research Program adalah proyek riset tentara Amerika Serikat untuk mempelajari struktur atmosfer atas lapisan ionosfer yang sangat penting dalam komunikasi radio. Antena ini sama sekali tidak bisa mempengaruhi gerak atmosfer karena pasif hanya menerima sinyal yang ditimbulkan atmosfer.

9. Laser

Pancaran sinar infra merah laser yang diarahkan ke udara lembap dan awan dapat mentrigger kilat buatan. Pelepasan muatan oleh kilat meningkatkan suhu di atmosfer, sehingga ikatan molekuler antara nitrogen dan oksigen terpecah.

Ide ini berasal dari penelitian bahwa badai hujan es berkorelasi dengan intensitas kejadian kilat.

Proses reaksi endotermis (menyerap kalor) ini menciptakan plasma bermuatan elektron yang berperan sebagai inti kondensasi sehingga tetes air dapat membesar dan menjadi hujan.

Penggunaan teknologi laser yang lain diilhami oleh Wilson cloud chamber (kamar kabut) yang digunakan untuk mendeteksi sinar kosmik.

Peneliti Universitas Geneva membuat eksperimen dengan kamar kabut yang ditembaki sinar laser intensitas kuat berperiode pendek, yang membawa energi hingga terawatt.

Kamar kabut dalam 3 detik langsung terbentuk tetes-tetes air yang dapat dilihat dengan mata. Percobaan langsung pada atmosfer pernah dilakukan di Berlin tahun 2008. Terlihat setelah penembakan laser ke langit, terbentuk awan kecil, namun masih terlalu kecil untuk membuat hujan terjadi.

Sampai saat ini penggunaan laser masih dalam eksperimen dan belum bisa diaplikasikan untuk aktivitas operasional. Banyak ilmuwan juga mengatakan bahwa kandungan uap air di atmosfer terlalu rendah untuk membuat awan dengan laser teknologi saat ini.

10. Satelit

Ide menggunakan satelit untuk mengendalikan cuaca ini sudah ada sejak awal tahun 1990-an.

Prinsip dasarnya dengan menggunakan energi matahari untuk mengumpulkan atau memfokuskannya dan mengirimnya ke bawah ke lokasi di permukaan Bumi yang diinginkan.

Dengan pancaran laser dari satelit diharapkan dapat mentrigger atmosfer untuk uap-uap air terbentuk menjadi awan. Sayangnya teknologi ini masih impian belum pernah ada eksperimen di dunia nyata dan hanya ada di dalam film Geostorm.

Karena biaya operasional satelit yang besar, lebih lagi satelit untuk memodifikasi cuaca memerlukan jaringan satelit yang besar agar efektif. Dan kemampuan konversi energi matahari ke energi laser yang dirasa masih belum cukup untuk mampu memproduksi laser berenergi tinggi.

Itulah berbagai teknologi umat manusia yang digunakan untuk mengendalikan cuaca. Untuk saat ini impian untuk mengendalikan cuaca masih jauh dari kenyataan karena biaya terlalu mahal dan material yang banyak, dan teknologi yang belum mumpuni.

Alam semesta terlalu amat besar untuk ditaklukan manusia. Untuk sekarang lebih baik menggunakan sains dan teknologi untuk memahami lebih baik bagaimana cuaca bekerja dan memprediksi konsekuensinya. Bekerja sama dengan alam, bukan mengendalikannya.

Referensi

Artikel Terkait